Pertemuan Singkat |
Saat itu perjalanan menuju kampung halaman, tepat disebelah admin duduk seorang perempuan mungkin seumuran, namun sayang hingga saat ini kami belum pernah bertemu lagi. Sobat ingin tahu bagaimana isi ceritanya? baiklah silahkan sobat simak berikut ini.
Cerpen Pertemuan Singkat
“Kau tau kawan, hidup itu tidak bisa ditebak. Kapanpun dimanapun dalam keadaan apapun bisa saja kau dipertemukan dengan orang baru.“Mengapa aku bisa berada di tempat ini?” Aku terkejut menatap sekelilingku. Aku tidak mengenali tempat ini sama sekali. Aneh sekali. Rasanya aku seperti terlempar dari tempat yang sangat jauh. Ku amati keadaan sekitarku untuk memastikan bahwa tempat ini tidak berbahaya. Ya, aku khawatir jika tiba-tiba ada hal yang membahayakan keselamatanku. Aku berjalan menyusuri jalan yang ku tapaki. Sepi. Tak ada siapapun. Suasana desa tak berpenghuni.
Entah ia akan tinggal atau sekedar ikut meramaikan cerita hidupmu. Lalu... ia pergi lagi”
Oleh: Titam Antasena
“Aduuuh...kenapa datang disaat seperti ini?” Tiba-tiba aku ingin pergi ke kamar kecil. Merepotkan sekali. Aku berjalan dengan setengah berlari. Tentu saja dengan mata sigap mengawas ke kanan kiri. Mencari orang yang bisa ku tanya atau mungkin minta tolong untuk dipinjami kamar kecil. Aku berhenti dengan mendadak. Ku jumpai seorang nenek yang sedang membersihkan halaman rumah.
“Nenek, bisakah saya menumpang ke kamar mandi? Aku bertanya tanpa basa-basi karena aku sudah tidak kuat lagi menahan keinginan ke kamar kecil. Nenek bersanggul itu tersenyum.
“Maaf nak, nenek tidak punya kamar mandi. Disana ada kamar mandi umum. Mungkin adik lebih baik kesana saja.” Nenek itu menunjuk kearah belakang di ujung jalan yang kutapaki saat ini.
“Terimakasih nek. Maaf jika merepotkan.” Aku pamit lalu segera mendatangi tempat yang ditunjukkan nenek. Aneh sekali. Bagaimana mungkin bisa orang tinggal disebuah kampung yang sepi dan sunyi seperti ini? Padahal ini sudah abad ke-duapuluh. Banyak tempat yang lebih strategis untuk tempat tinggal.
Suasana desa ini terasa seperti pada masa kerajaan di tanah Jawa. Aku berjalan dengan sedikit tergesa. Aku belum menemukan kamar mandi umum yang ditunjukan nenek bersanggul tadi.
“Itu dia!” Aku menjumpai plang bertuliskan ‘WC UMUM’. Aku segera menyambanginya. Aku lihat ada yang menjaga. Seorang lelaki berkepala botak dengan kumis tebal. Badannya gempal. Lebih cocok jadi algojo menurutku.Tapi secocok apapun kriteria lelaki itu tetap saja nasibnya akan menjadi penjaga WC umum.
“Ada yang kosong bang? Saya masuk ya.” Aku nyelonong masuk saja tanpa ada jawaban sepatah kata atas pertanyaanku. Lelaki itu hanya melotot melihat kelakuanku. Aku memakai air sesuka hatiku. Padahal sudah jelas airnya sangat terbatas sekali. Mendengar itu si Algojo WC umum menggedorku dari luar.
“Wooi! Keluar!”
“Iya bang...iyyaaa...” Aku membuka pintu dengan gugup dan tergesa. Waduh, algojo WC umum itu berdiri tepat dihadapanku. Mataku bertemu dengan matanya.
“Kalo tidak bisa pakai air yang bener lebih baik cari kamar mandi umum lain.”
“Iya bang...iya. Saya benerin deh pakai airnya.” Aku langsung menutup pintu kembali. Aku melakukan hal yang sama. Karena aku memang tipe orang yang boros air.
“Doorrrr doorrr doorrrr..praaaakkk...”
Algojo penjaga WC umum itu menggedorku memaksaku untuk segera keluar karena menurutnya tindakanku ini merugikan usahanya.
“Iya baaang iyaaaa...” Aku menyegerakan keperluanku di dalam.
“Iya bang saya selesai.”
“Kalau tidak bisa hemat air nggak usah datang kesini! Cari kamar mandi umum lain saja!” Algojo itu mengusirku. Aku takut setengah mati. Aku berlari menjauh menuju jalan yang tadi kulewati. Aku ingin pulang.
Aku bingung mau mengambil arah kemana. Karena aku benar-benar asing dengan tempat ini. Tak lama kemudian aku mendengar suara lonceng dokar (alat transportasi khas Jawa Tengah berupa gerobak yang ditarik kuda). Aku memasang telingaku baik-baik.
“Benar, itu suara dokar.” Aku berseru. Merasa sedikit senang karena aku bisa naik dokar untuk mencari jalan pulang. Aku melambaikan tangan sebagai isyarat untuk kusir menghentikan laju dokar. Dokar berhenti tepat di depanku.
“Kampung Kemiri Pak Dhe.” Pak Dhe yang mengusiri dokar hanya mengangguk dengan senyum ramahnya. Aku naik keatas dokar.
“Hiissss...jalan ...” Pak Dhe kusir memecut kuda. Kudapun bersuara lalu segera melaju. Aku menikmati suasana desa kuno ini dari atas dokar. Tentu saja sambil melamun. Itu sudah menjadi kebiasaanku ketika dalam perjalanan. Tiba-tiba dokar berhenti. Aku tersentak dibuatnya. Belum sempat aku mengeluarkan pertanyaan aku langsung terdiam. Tidak jadi bertanya.
“Jalan pak.” Suara lembut seorang pemuda.
Pemuda itu tinggi berkulit putih. Ia mengenakan pakaian sutra putih bertabur permata berwarna putih yang berkilauan. Aku tak bisa melihat wajah pemuda itu. Wajahnya bersinar bagai bulan purnama. Aku bertanya-tanya. Siapa pemuda ini sebenarnya. Apakah ia seorang pangeran? Ia selalu menghadap kearahku. Berkali aku mencoba menentang cahaya yang memancar dari wajahnya untuk mencari tahu siapa dia. Tapi tetap saja gagal. Mataku tidak kuat untuk melakukan itu.
Selama dalam perjalanan itu aku dihantui rasa penasaran. Aku sangat tersiksa dengan ini. Mungkin lebih baik aku turun saja.
“Pak Dhe, saya turun disini saja.”
“Enggih mbakyu.” Dokar berhenti lalu aku segera turun.
“Hey Kamu.” Pemuda itu memanggilku. Aku membalikkan badan.
“Ini untukmu.” Pemuda itu menyodorkan buku berwarna emas. Sampulnya berhias permata berwarna merah dan hijau. Ada setitik permata warna hitam juga disana. Indah sekali. Aku bertanya-tanya. Kenapa pemuda ini memberiku Al Qur’an? Siapa pemuda ini sebenarnya? Aku mencoba melawan cahaya yang memancar dari wajahnya. Lalu aku terbangun dari tidurku. Ku lihat sekeliling. Aku masih berada dikamarku. Diatas kasur kesayanganku.
“Jadi hanya mimpi...”
Pertemuan Singkat di Pelabuhan |
Awal Kisah Pertemuan Singkat Gadis dan Pemuda
Kau tau kawan, hidup itu tidak bisa ditebak. Kapanpun dimanapun dalam keadaan apapun bisa saja kau dipertemukan dengan orang baru. Entah ia akan tinggal atau sekedar ikut meramaikan cerita hidupmu. Lalu… ia pergi lagi.Apa yang kau rencanakan dengan baik masih kalah baik dengan apa yang Tuhan rencanakan. Karena skenario Tuhan itu sempurna. Aku selalu tertawa kecil jika mengingatnya.
Hari itu aku menyiapkan diri untuk perjalanan esok pagi. Pulau Bawean. Pulau yang berada di perairan Laut Jawa. Berada diantara pulau Jawa dan pulau Kalimantan. Kelilingnya kurang lebih 50 kilometer. Untuk menuju kesana harus menempuh perjalanan tiga hingga empat jam jalur laut. Itupun jika keadaan laut sedang mendukung. Terdiri dari dua kecamatan, kecamatan Sangkapura dan kecamatan Tambak. Pulau Bawean bisa dijangkau dengan dua pilihan jalur, jalur laut atau jalur udara. Jika ingin lebih hemat bisa memilih alternatif jalur laut.
Layar ponselku berkedip-kedip ada pesan masuk.
“Titam tiket kamu udah ada di aku. Kapal berangkat jam enam pagi. Jangan sampai telat ya. Ingat kapal berangkat jam enam pagi. Kalau telat naik tiketnya bisa hangus.”
Itu pesan singkat dari Vina, teman berlayarku besok pagi menuju pulau Bawean. Aku membalasnya sekedar mengiyakan. Aku masih bingung memilih barang yang perlu ku bawa. Aku terdiam. Aku putuskan mempersiapkan fisik terlebih dahulu. Istirahat.
Pagi buta aku sudah tiba di tempat Vina menginap. Meskipun dengan menumpang. Kebetulan subuh tadi temanku ada yang sudah dijemput abangnya. Karena mendengar kapalku berlayar pukul enam pagi akhirnya temanku meminta abangnya untuk mengantarkanku terlebih dahulu.
“Depan kantor Semen Gresik Bang.” Kataku menjawab singkat pertanyaan dari Bang Enol.
“Ada di dekat plaza, jurusan Surabaya.” Imbuhku. Kami berusaha memecah dinginnya suasana subuh dengan mengobrol. Aku juga lupa apa yang kami bicarakan. Aku membuka Google Maps untuk memastikan bahwa kami tidak tersesat. Dan beberapa menit kemudian kami sampai. Di depan kantor Semen Gresik. Aku dijemput sepupu Vina.
“Kak Vina masih mandi.” Katanya.
Namanya Yuli. Dari perawakannya aku kira dia sudah berkeluarga. Ternyata dugaanku meleset. Ia masih kuliah dan baru semester tiga. Sampai di rumah Yuli aku dipersilahkan duduk diruang tamu. Aku menunggu Vina di sofa ruang tamu. Sofa besar itu cukup menghangatkanku setelah menerjang dinginnya udara pagi ini. Aku selalu melihat jam di pergelangan tanganku. Vina sudah selesai mandi lalu menyiapkan ini dan itu. Aku hanya mengamati semua kegiatan yang ia lakukan dari sofa dimana aku duduk.
“Katanya kapal berangkat jam enam? Lihat deh sekarang jam berapa?” tanyaku sembari melirik jam dinding yang menggantung diatas kusen pintu menuju ruang tengah.
“Bentar, Yuli masih mandi. Nanti kamu duluan ya yang diantar ke pelabuhan.” Aku hanya manggut-manggut.
“Ini semua bawaan kamu Vin?” tanyaku sedikit heran melihat tumpukan beberapa kardus dan tas diruang tamu yang aku rasa Vina tak akan bisa membawanya sendiri.
“He he…tar tolong bantu bawain ya. Sebagian besar ini titipan temen-temen. Enggak enak mau nolak.” Kata Vina menjelaskan diiringi dengan tawa kecil.
Beberapa menit kemudian aku diantar Yuli ke pelabuhan. Sudah tidak ada yang duduk diruang tunggu. Sepi. Aku jadi terburu-buru sekali melihat situasi ini.
“Maaf pak, nomor kursi ini dimana ya?” aku menyodorkan tiketku kepada laki-laki berpelampung oranye. “Oh, disana.” Laki-laki yang mungkin sudah berkepala empat ini membimbingku menuju tempat duduk dengan nomor sesuai yang tertera ditiket yang kusodorkan. “ini tempat duduknya.” Aku menemukan tempat dudukku meski awalnya sedikit kebingungan mencarinya.
“Makasih pak.” Laki-laki berpelampung oranye itu langsung berbalik. Aku tidak tahu entah ia petugas kapal, petugas pelabuhan atau mungkin kuli angkut barang. Yang jelas orang tersebut terlihat sudah hafal sekali dengan seisi kapal ini.
Aku menghadap tempat dudukku. Sempat sedikit terkejut. Kursiku berada diantara laki-laki. Aku mendapat tempat duduk di tengah. Padahal besar sekali harapan untuk bisa duduk di dekat jendela. Memang belum rejeki. Tempat duduk yang ada di dekat jendela sebelahku ditempati seorang laki-laki.
“Beruntung sekali ya laki-laki ini, bisa dapat tempat duduk didekat jendela. Pasti seru sekali bisa melihat keadaan luar selama berlayar dari jendela itu.” Kataku dalam hati.
Sekali lagi, memang apa yang kita rencanakan masih kalah sempurna dengan apa yang Tuhan rencanakan.
“Vin, aku udah nemuin tempat dudukku.” Tulisku di pesan singkat. Lega rasanya sudah berada diatas kapal. Aku melihat sekeliling dan mengamati seisi kapal. Dingin sekali. Kapal ini ber-AC. Untung saja aku pakai jaket.
Tiba-tiba aku merasakan gerakan. Kapal sudah angkat jangkar. Suara petugas di mikrofon memecah dinginnya pagi mengajak para awak kapal untuk membaca doa sebelum berkendara. Pikiranku tidak ada disini saat ini. Aku kepikiran Vina.
Tuuutttt...tuuuttttt...
“Halo...Vin, kamu udah dikapal belum? Udah dapat tempat duduk?” aku panik.
“Belum lah Titam, ini masih dijalan.” Suara Vina bercampur suara angin.
“Ini kapal udah berangkat, kapalnya udah jalan.” Aku mengabarinya dengan panik.
Aku tak tau lagi apa yang diucapkan Vina diseberang sana. Yang aku tahu sekarang ia sedang menangis sedih karena jadwal berlayarnya harus tertunda.
Bapak-bapak dan laki-laki yang duduk disebelahku terlihat menyimak percakapanku.
“Temannya ketinggalan mbak?” aku hanya mengiyakan pertanyaan bapak tersebut.
“Kalau sudah lepas jangkar begini ya sudah nggak bisa diapa-apakan lagi mbak.” Aku sedih mendengar penjelasan itu.
“Tadi tiket kapal Natuna kelihatannya masih banyak. Coba temannya dikasih tahu. Siapa tahu masih ada tiketnya.” Aku langsung memberitahu informasi ini kepada Vina.
“Temannya nginap dimana kok bisa ketinggalan?” suara lembut itu terdengar dari arah kiriku. Laki-laki disebelah jendela itu menanyaiku.
“Di rumah sepupunya deket pelabuhan.” Aku menjawab pertanyaan itu dengan penuh rasa panik, tergesa-gesa dan tanpa pikir panjang.
“Kok bisa ketinggalan? Tapi udah tau kan kalau kapalnya berangkat jam enam?” tanyanya lagi sedikit heran.
“Udah, udah tau kok, malahan dia yang ngingetin aku nyuruh jangan sampai telat. Tapi malah dia sendiri yang ketinggalan.” Aku sangat menyayangkan sekali momen itu. Aku kemudian terdiam. Pemuda itu kembali menatap keluar jendela. Sesekali melihat ke layar ponselnya. Lalu menatap keluar jendela kembali.
Aku mengeluarkan buku catatanku. Hari ini seharusnya menjadi hari yang menyenangkan. Ini adalah pertama kalinya aku berlayar. Aku menuliskan kisah hari itu. Ini sudah menjadi kebiasaanku. Mencatat hal-hal yang menarik untuk diabadikan kedalam tulisan.
“Mbak, mbak suka nulis juga?” suara lembut dari samping jendela itu terdengar lagi. Aku menoleh kearahnya. Sedikit terkejut. Seperti ada adegan slowmotion saat itu. Aku mencoba tersenyum ramah lalu menjawab pertanyaan basa-basi itu. Sepertinya hanya aku yang menganggap itu sekedar basa-basi. Pemuda itu bertanya dengan serius. Menanggapi pertanyaan itu serasa masuk ke kandang macan. Di satu sisi aku takut di sisi lain aku sangat tertarik. Aku mati gaya.
“Sekedar corat-coret.” Aku menjawab diiringi tawa kecil dengan tanpa menatap wajahnya. Aku gugup.
“Kalau mbak suka nulis, mbak bisa ikut gabung di blog saya. Ini nama blognya “Pena Kecil” pemuda itu menunjukkan blog miliknya kepadaku.
“Ada dua blog serupa, kalau yang ini yang punya saya.” Ia mencoba meyakinkanku. Aku hanya mengiyakan dan mengatakan akan membukanya nanti karena smartphoneku sudah tidak ada jaringan sama sekali.
“Mbak asli orang mana?”
“Jawa Tengah Mas.” “Kok bisa tahu pulau Bawean dari mana?”
“Dari teman kampus.”
“Kuliah dimana?”
“Di Gresik Mas di desa Suci.” Pemuda itu ber oh panjang.
“Mondok di Suci?” sepertinya rasa penasarannya sedikit terjawab. Akupun hanya mengiyakan sembari tersenyum.
“Mas mondok juga?”
“Iya..” terdengar tawa kecil ditengah jawaban itu.
“Mondok dimana?”
“Di Jombang, Tebuireng.” Aku manggut-manggut sok tau. Dulu memang pernah kesana ziarah ke makam Gus Dur.
“Kakak saya juga pernah tinggal di sana. Di daerah Ngoro.” Statement sok tauku yang terlontar selanjutnya. “tapi saya belum pernah kesana.”
“Oh...iya iya...di Ngoro ya?” timpalnya.
“Udah pernah naik kapal?” tanyanya lagi. Aku ingin tertawa mendengar pertanyaan itu.
“Hahahaha...belum, belum pernah. Ini baru pertama kali.” Terlihat bapak di sebelah kananku sedikit kawatir. Lalu memintakan beberapa lembar kresek kecil kepada petugas kapal.
“Saya nggak mabuk kok pak.” Gumamku dalam hati.
“Emm...baru pertama kali ya?” ada nada kawatir terdengar.
“Temennya Bawean mana rumahnya?” aku menggelengkan kepala.
“Enggak tau, katanya sih ada di Sangkapura. Tapi nggak tau juga di Sangkapura mana.” Aku menjawab apa adanya. Mungkian pemuda itu merasa heran dengan informasi yang didapat dariku. Baru pertama kali ke Bawean. Pertama kali naik kapal. Teman berlayar ketinggalan. Rumah tujuan di Bawean enggak tau. Nggak jelas. Aku jadi merasa bodoh sekali.
“Mau berapa hari di Bawean?”
“Rencana lebaran kedua mau berlayar.” Hari ini terhitung enam hari sebelum lebaran. Pemuda itu hanya manggut-manggut.
“Udah semester berapa?”
“Baru semester enam.” Aku terdiam sejenak. “Mas semester berapa?” lanjutku.
“Nanti habis lebaran wisuda.”
Lalu kami saling diam kembali. Kehabisan bahan obrolan. Ia kembali menatap keluar jendela. Entah apa yang ia lihat. Aku merasa kedinginan. Ku kenakan masker untuk menutup wajahku, berusaha menepis rasa dingin yang menusuk. Ku peluk erat rangselku. Akupun perlahan jatuh dalam tidurku. Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Aku yakin sekali suatu saat aku akan bisa menemukannya kembali. Di lain waktu dan kesempatan.
Entah berapa jam aku tertidur. Aku menengok jam di pergelangan tanganku. Kapal ini sudah berlayar selama empat jam delapan menit. Sebenarnya aku masih ingin tidur, tapi aku urungkan karena aku kawatir akan tertinggal di kapal jika tidur lagi. :D
“Itu pulaunya sudah kelihatan.” Aku langsung melongokkan kepalaku melihat keluar jendela. Terlihat bukit-bukit cantik seperti di serial animasi Moanna produksi film Amerika. Dadaku bergemuruh. ‘Beneran nih Titam sampai di Bawean?’ Rasanya seperti mimpi.
Kapal merapat ke dermaga setengah jam kemudian. Bapak yang tadi duduk disebelah kananku sudah beranjak dari kursi. Aku sedikit bingung. ‘Apa yang harus ku lakukan?’ Terasa ada yang menatapku dari arah kiri. Tatapan menunggu. Duuuhhhh...aku jadi salah tingkah. Sekarang di kursi tinggal kami berdua. Aku bersama ransel, bawaan Vina yang dititipkan kepadaku dan pemuda di dekat jendela itu. Aku segera menggendong ransel dan menjinjing segala bawaanku. “Benar-benar berat”.
Aku beranjak dari tempat duduk mengikuti arus awak kapal untuk berlabuh ke dermaga. Aku tertawa kecil dalam hati mengingat ucapan pemuda di dekat jendela itu.‘Perempuan emang gitu, suka bawa banyak barang.’ Kalau dipikir-pikir memang begitu kenyataannya. :D
Aku berdesak-desakan menuju pintu keluar. Sebenernya aku sedikit kawatir dengan keadaan ini. Aku melihat ke kanan kiri dan belakang untuk memastikan bahwa semua baik-baik saja. Ups... ternyata pemuda di dekat jendela itu lagi yang ada dibelakangku. Kami berbondong-bondong berjalan menuju pintu keluar. Seperti laron mengerubuti sumber cahaya.
Diluar terlihat banyak orang telah menunggu. Kuli angkut, petugas pelabuhan, penyambut, semua menyambut kedatangan kapal ini. Aku sudah sampai di dermaga. Keluar dari kapal aku sudah tidak mendapati pemuda itu lagi. Sepertinya dia telah berjalan menuju pelabuhan lebih dulu. Yang aku pikirkan saat ini hanya satu. Menelpon Iim.
Tadi pagi sebelum berangkat Vina memberiku nomer ponsel Iim. Adik tingkat yang akan menjemputku di pelabuhan Bawean. Ku letakkan seluruh barang bawaanku di dekat gerobak angkut yang terparkir rapi di dekat kapal melepaskan jangkar.
Aku mencoba menelpon Iim. Tidak ada jawaban. Aku menelponnya berulang-ulang. Nomornya tidak aktif. Aku sedikit panik. Sepertinya aku akan terlantar di pelabuhan. Aku merasa seperti orang hilang di tempat ini. Menyedihkan sekali.
“Mbak, tempat orang yang biasanya jemput disana.” Aku yang tadinya berkutat dengan handphone langsung mengangkat wajah. “Bukannya pemuda ini sudah berjalan meninggalkanku? Kenapa dia kembali lagi?” Aku sedikit bengong melihat pemuda itu datang menghampiriku kembali.
“Eh..heemm...jauh?” Aku menjawab asal. Hal ini membuatku merasa menjadi perempuan paling bodoh sedunia. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
‘Iyalah Titam, jauh, orang tempat yang ditunjuk aja keliatan kecil banget dari tempat kamu berdiri.’ Batinku menggumam.
“Iya itu disana, di gerbang sana itu. Keliatan kan orang-orang pada nunggu disana?” Aku hanya meringis mendengar penjelasan itu. Malu.
Aku segera menggendong ranselku dan menjinjing segala bawaanku.
“Ayuk...” Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Lalu berjalan bersama menuju tempat orang-orang yang menjemput menanti.
“Rasanya aku kayak orang ilang.” Aku menertawakan diriku sendiri. Pemuda itupun hanya tertawa kecil mendengar ucapanku. Aku pikir dia kasihan dengan keadaanku saat ini.
“Baru pertama kali datang ke tempat orang, nggak tahu dimana alamatnya.” Aku melanjutkan menertawakan diriku. Pemuda itu hanya senyum-senyum dan tertawa kecil.
“Gimana temennya yang jemput?”
“Tadi aku telpon enggak diangkat. Terus ditelpon lagi enggak aktif nomornya. Kayaknya nggak ada sinyal deh.” Aku tersenyum tak habis pikir. Aku hanya bisa pasrah dengan keadaanku saat ini. Karena sebenernya aku juga tidak ingat wajah anak yang akan menjemputku. :D
“Aku kedinginan, mau berjemur disini dulu.” Aku berhenti dengan tiba-tiba setelah melewati gerbang pelabuhan. Pemuda itu juga ikut berhenti dengan mendadak. Dibawah terik matahari jam segini seharusnya aku merasa kepanasan. Tapi ini malah sebaliknya. Aku yakin sekali pemuda itu pasti menjastis bahwa aku adalah perempuan yang aneh.
Aku menaruh kembali semua barang bawaanku. Aku melihat sekeliling.
“Benar-benar surga dunia.” Aku menghirup dalam-dalam udara yang kurasakan. Hijaunya pulau, birunya air laut, sapuan awan yang manis, ditambah udara yang segar. Aku suka tempat ini. Hatiku berdecak kagum. Aku serasa menjadi Moanna menemukan pulau impiannya setelah menerjang ganasnya gelombang air laut. Aku jatuh cinta pada pulau ini. It’s really amazing island! Trully!
Pemuda itu masih berdiri di tempatnya. Aku mencoba menghubungi Iim kembali. Masih tetap sama. Tidak ada jawaban. Sesekali nomornya tidak aktif.
“Temennya belum dateng juga?” Aku hanya melempar senyum kecut padanya.
“Eh itu abang udah dateng.” Pemuda itu berjalan menuju kearah seorang lelaki yang kukira usianya sekitar kepala tiga. Perawakannya tinggi besar. Ia datang menunggang motor maskulin warna putih. Beberapa saat setelah pemuda itu menemui abangnya ternyata mereka berjalan mendekatiku kembali. Aku masih berkutat dengan handphone. Aku mendengar sayup-sayup percakapan dengan bahasa Bawean diantara mereka.
“Ini ada anak mau main ke Bawean tapi temennya tadi ketinggalan kapal. Ini masih nunggu dijemput. Ditanyain rumah temennya Bawean mana bilang nggak tahu. Giman mau ninggalin?” Abangnya terlihat memasang wajah simpati. Manggut-manggut mendengar cerita yang diutarakan pemuda itu.
“Bawa kerumah aja.” Abangnya mengusulkan dengan spontan. Aku yang tadinya fokus dengan handphoneku kaget dengan ucapan yang kudengar. Aku kira pemuda itu juga merasakan hal yang sama. Kami hanya terdiam. Abang menyadari keanehan yang terasa. Matanya melirik secara bergantian. Sesekali melirik ke pemuda itu sesekali juga melirik kearahku.
“Kenal?” Kami berdua hanya menggeleng dan saling tatap satu sama lain. Kami belum mengenal satu sama lain abang. Ketemu juga baru empat jam yang lau. Itupun karena kebetulan kami mendapat tempat duduk bersebelahan. Jangankan kenal, tahu namanya juga enggak. Mungkin sedikit mengherankan, tapi itulah kenyataannya.
Kami berdua merasa lucu dengan keadaan kami saat ini.
“Terus ketemu dimana?” Pertanyaan menyelidik abang itu membuat pemuda itu terlihat gugup.
“Barusan ketemu di kapal.” Pemuda itu menjawab dengan sedikit ragu-atau mungkin lebih tepatnya segan-sembari menunjuk kebelakang dengan tanpa membalikkan badan. Abangnya hanya manggut-manggut mendengar itu.
“Gimana temennya masih belum bisa dihubungi?” Pertanyaan itu seolah menjadi pertanyaan pamungkas darinya. Dan aku selalu menjawab dengan jawaban pamungkasku. Belum.
“Kalau temennya masih lama jemputnya, ayuk mampir dulu ke rumah bibik. Deket kok dari sini.” Pemuda itu menawariku.
“Lihat ada tempat yang banyak perahunya. Yang kelihatan dari sini? Rumah bibik disana. Mbak kan capek nih. Siapa tahu mau istirahat dulu disana sambil nunggu temannya?” Aku speechless mendengar tawaran itu. Coba bayangin, dateng ke tempat yang sama sekali asing, ketemu pemuda asing yang menawari tempat singgah, ditambah belum tahu kondisi psikologi masyarakatnya. Bagaimana kalo misalkan aku mengiyakan tawaran itu dan ternyata disana jika ada laki-laki bawa pulang perempuan harus langsung dinikahkan saat itu juga. Aku bergidik membayangkannya.
“ehmmmm...hmmm...makasih, enggak deh, takutnya nanti temen yang jemput nyariin...hmmm” Aku beralasan.
“Ya minta jemput disana nanti.”
“Enggak..enggak, hmm...makasih, takut ngrepotin.” Batinku berkecamuk, nggak karuan.
‘Duuuhh...Iim mana siiih...buruan dateng dong.’ Aku memanggil-manggil Iim di dalam hati. Panik.
“Miss !!!” Aku mendengar suara yang tak asing lagi ditelingaku. Aku langsung berasumsi jika itu pasti Iim. Aku lega sekali Iim datang tepat waktu. Tuhan telah menyelamatkanku dari situasi mencekam itu. Horor.
“Eh, itu temenku udah dateng...!”
“Iiiiiimmmm....” Aku memeluknya erat sekali. Merasa telah diselamatkannya. Aku bahagia sekali rasanya setelah bergelut dengan waktu menunggu di pelabuhan seperti orang hilang.
“Looh... loh... loh... loh... Iim, Iim... kok... loh... kok udah pergii??? Aduuuh.... aku belum bilang makasih sama orangnya. Mana nggak tahu namanya lagi. Nggak tau orang mana juga. Duuuh...” Aku hanya bisa melihat punggung punggung pemuda itu. Aku menyesali apa yang telah terjadi. Kami memang mengobrol banyak topik sejak di kapal. Tapi tak ada perkenalan sama sekali. Payah sekali bukan?
“Kalau jodoh pasti tar ketemu lagi Miss.” Celetuk Iim diiringi tawa. Aku jadi teringat mimpiku tempo hari. Pangeran berbaju elok diatas kereta kencana yang memberiku Al Qur’an kecil bertahta berlian dan permata. Aku serasa seperti kembali ke mimpiku saat itu. Tapi benar juga apa kata Iim. Kalau jodoh nggak bakal kemana. Bukannya Tuhan telah menyiapkan jodoh untuk masing-masing kita? Layaknya tulang rusuk pasti tidak akan tertukar dengan tulang punggungnya.
Nah sobat demikian artikel tentang Cerpen Pertemuan Singkat semoga bermanfaat.
2017 © Pena Kecil (https://tulispenakecil.blogspot.com*).