Aku Bukan Langit yang egois |
Karena langit tahu, ketulusan itu manis buahnya. Akan selalu ada sesuatu yang lebih indah setelah mengalami sesuatu yang sedikit menguji kesabaran.”
Aku Bukan Langit yang Egois
Oleh: Titam AntasenaSenja ini menjadi semakin merah saja. Semerah hati gadis di tepi jendela itu. Ia menatap langit senja ini dari bus kota yang ia naiki. Sebenarnya Elen (nama gadis itu) sangat merindukan suasana rumah. Hanya saja ia masih selalu teringat dengan kejadian itu. Kejadian yang merenggut seluruh kepercayaannya. Baru tiga bulan yang lalu Elen merayakan ulang tahun. Dan ia mendapat hadiah yang tak pernah ia bayangkan. Sebuah penghianatan.
“Mbak turun dimana?” suara kenek bus membuyarkan lamunan.
“Alun-alun kota pak.” Ia menunggu kenek memberikan karcis
“Berapa?” tanyanya saat kenek masih menulis kota tujuan.
“Tiga puluh lima ribu mbak.” Kata kenek bus sembari menyodorkan karcis.
Elen menyodorkan uang selebran lima puluh ribu. Beberapa saat kemudian kenek menyodorkan dua lembar uang kembalian. Lalu Elen kembali menengok keluar jendela. Menatap panorama yang tersaji selama perjalanan. Jalur pantura memang menyajikan pamandangan alam yang elok. Tak akan pernah bosan memandangnya. Laut, pantai, gunung, dan langit yang biru. Semua itu kini tak bisa dinikmati, terhalang senja. Elen tak bisa melihat semua keelokan sepanjang jalan itu. Langit hanya menyisakan semburat kemerahan disisi barat.
Suasana bus lengang sekali. Hanya ada sekitar belasan penumpang. Salah satu penumpang itu kini sedang menerawang jauh. Pandangannya kosong. Angannya sedang terbang jauh, sibuk dengan sesuatu. Tentang masa depan.
“Mamak, mmm…Elen dapat hadiah.” Elen menemui ibunya-yang ia panggil Mamak-sedang sibuk di dapur. Ia membawa hadiah dari teman dekatnya. Elen menyembunyikan hadiah itu dibalik punggungnya.
“Hadiah? Hadiah dari siapa Elen?” Mamak menyelidik.
“Emm…ee…hmmm…dariii….dari teman mak, hehe” Ia meringis, merasa ada hawa hangat menyeruak di wajahnya. Ia merasa malu sekali mengatakan itu ke Mamak. “Teman?” mata Mamak menajam. Terlihat jelas sekali mata coklat terang Mamak yang semakin indah dengan garis sembur kecil-kecil di sekeliling pupilnya. Mamak penasaran. Mulutku masih tertutup rapat.
“Laki-laki atau perempuan?” Pertanyaan Mamak kali ini bagai skak mat. Elen tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Kalau ia berbohong takut nggak dipercaya lagi. Kalau jujur takut kena marah. Setelah menimbang-nimbang akhirnya Elen bersuara.
“Hmmm….laki-laki Mak.” Elen salah tingkah, meringis, memilih mengatakan yang sebenarnya. Lebih baik dimarahi daripada tidak dipercaya lagi.
“Emm…kalau Elen mau memakai hadiah pemberian dari teman laki-laki Elen, itu artinya Elen suka sama dia.” Mamak senyum-senyum, menyadari putrid bungsunya sudah beranjak remaja.
“Gitu ya Mak?” Elen manggut-manggut. Hatinya bersorak sorai. Benar-benar tidaj menyangka dengan respon Mamak terhadap apa yang telah ia utarakan. Elen mengira ia akan dimarahi habis-habisan. Tapi Tuhan berkata lain. Elen merasa ada sesuatu yang meloncat-loncat didalam dadanya. Ia segera berlari ke kamar sebelum Mamak menyadari semuanya. Ia telah jatuh cinta.
Dengan tergesa Elen menutup pintu kamarnya. Jantungnya berdetak kencang sekali. Serasa ingin meloncat keluar dari rongga dada. Ia menekan kedua tangannya di dada. Semakin terasa guncangannya.
“Aku jatuh cinta sama Juna?” Elen menepuk-nepuk pipi memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi.
“Aduuh…sakiit…” ini pertanda bahwa semua ini bukan mimpi. Saking bahagianya Elen sampai bingung mau berbuat apa. Akhirnya ia membanting diri ke kasur dengan keadaan tengkurap. Wajahnya terbenam disana. Ia menamakan ini virus jedug-jedug, Elen terkena virus jedug-jedug.
Elen masih menatap sisa-sisa semburat kemerahan di sisi langit barat dari jendela bus kota. Angannya masih terbuai oleh kisah-kisah di masalalu.
“Tidak, memangnya kenapa?” Elen menoleh membalas pertanyaan Juna, lalu mereka kembali menatap langit.
“Itu adalah wujud kerelaan langit melepaskan segala sesuatu yang dimilikinya. Ya, cahaya cinta, aku menamakannya cahay cinta.” Bibir Juna tersungging, matanya menerawang jauh ke angkasa.
“Maksudnya?” Elen mengernyitkan dahi tidak mengerti apa maksud dari kalimat yang diucapkan Juna.
“Maksudnyaa hidung semut kamu minta dicubit…” Juna tertawa lebar melihat raut wajah Elen setelah ia menarik hidung mungil Elen.
“Juna…sakit tau!”
“Coba mana yang sakit?” Elen hanya manyun. Lalu dengan tiba-tiba Juna mengulang melakukannya, menarik hidung Elen kembali.
“Juna ! sakit !” Elen mulai murka.
“Hahaha… iya iya iya. Serius!” Juna mengacungkan dua jarinya meminta maaf. “Semburat kemerahan di langit saat pagi dan senja itu merupakan cahaya cinta yang tercipta karena keikhlasan langit melepaskan apa yang pernah dimilikinya dengan perlahan. Sangat perlahan.” Elen hanya diam. Mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Juna.
“Kau pernah mendengar tidak, tentang langit kita yang ada dua sisi?” Elen mencoba mengingat pelajaran sains dimasa sekolah setelah mendengar pertanyaan Juna. “Langit utara dan langit selatan?” jawabnya sedikit ragu.
“Ya, dua sisi langit itu hanya memiliki satu matahari bukan?”
“Kukira seperti itu.” Elen menyimak dengan seksama.
“Pastinya matahari akan terus bergantian mendatangi dua langit tersebut. Coba bayangkan jika salah satu langit itu egois dan ingin memiliki matahari? Kau bisa membayangkannya Elen?”
“Mungkin bumi ini akan terbakar karena keegoisan langit itu.” Elen tenggelam dalam pembicaraan.
“Untungnya langit yang seang kita pandang saat ini tidak seegois itu. Jadi kau tak perlu kawatir itu akan terjadi.” Mereka diam sejenak.
“Karena langit tahu, ketulusan itu manis buahnya. Akan selalu ada sesuatu yang lebih indah setelah mengalami sesuatu yang sedikit menguji kesabaran.” Juna melanjutkan kalimatnya dan mereka terdiam kembali.
“Ketika kau merasa kecewa kau pasti juga akan mendapat bahagia dari yang lainnya. Setelah senja ini benar-benar sempurna, coba saja nanti malam kau keluar rumah dan dongakkan kepalamu. Kau akan menemukan sesuatu yang indah itu Elen. Bulan purnama.” Juna bangun dari padang rumput dan menepuk-menepuk punggungnya untuk memebersihkan rumput yang menempel di pakaiannta.
“Dan sekarang kita harus segera pulang, sebelum bukit ini berubah menjadi gelap dan hantu-hantu yang ada disini berdatangan karena jatuh cinta padamu.” Juna menggoda.
“Juna !!” Elen meloncat, takut dengan lelucon Juna.
“Bercanda Elen.” Juna tertawa lepas.
“Aku harus kuat, Elen, kamu adalah perempuan yang kuat.” Elen membesarkan hatinya sendiri. Ia menghapus butir-butir bening yang semakin deras membasahi pipinya.
“Terminal…terminal…terminal…” suara kenek bus kembali terdengar setelah tertelan segala angan yang dating silih berganti. Sudah sampai terminal Rembang. Ini tandanya ia harus bersiap untuk turun.
“Alun-alun kota pak.” Bus berhenti lalu ia turun.
Elen segera melangkahkan kaki menuju masjid di dekat alun-alun untuk sembahyang disana. Sebentar lagi akan turun hujan. Terlihat awan mendung datang bergulung dari sisi selatan. Dan sepertinya hujan akan sangat lebat.
Seusai sembahyang ternyata langit benar-benar menumpahkan air. Elen duduk di serambi masjid, mengamati tetes demi tetes air yang jatuh. Rasa cintanya kepada Juna dulu lebih banyak dari jumlah tetes air hujan yang jatuh saat ini-mungkin. Rasa sakit menyeruak diulu hati. Elen teringat gadis yang baru ia kenal dalam hitungan bulan itu. Namanya Nieka. Bagai slide yang secara otomatis terputar, angannya kini terbang ke beberapa hari yang lalu. Pembicaraannya dengan dengan Juna di tempat mereka biasa bertemu.
“Hatiku benar-benar terluka Juna, aku tidak tahu aku bisa mengobatinya atau tidak.” Elen terisak.
“Kamu tahu? Kamu sudah merusak masa depan gadis itu!” tangis Elen tertahan. “Lalu apa arti dari janji yang kamu ucapkan dulu? Apa tidak ada artinya penantian yang kujalani selama ini?” Juna masih terdiam.
“Lebih baik kamu meninggalkan aku karena menikah dengan gadis lain daripada kamu perlakukan Nieka seperti itu. Dia juga punya perasaan Juna! Dia juga punya perasaan!” Juna masih tetap mematung mendengar segala ucapan Elen.
“Apa seperti ini calon imam yang baik yang pernah kamu bilang dulu?” Elen melumat bibir kesal.
“Lupakan semua yang pernah terjadi dan anggap tidak pernah ada apapun antara aku dan kamu.” Tatapan Elen nanar dan kosong. Tanpa jawaban sepatah katapun dari Juna, Elen kemudian beranjak dari duduknya. Meninggalkan Juna terpaku sendirian di sudut ruangan mungil itu.
“Aku tidak boleh menjadi langit yang egois. Aku harus bisa melewati ini semua. Perempuan hebat harus berhati super kuat. Yakin Elen, akan ada hal indah yang akan kau temui setelah ini. Tunggu saja.”
Elen mengusap sisa air mata di pipinya yang hamper mongering. Lalu mencoba menyungging senyum. Tentu saja senyum yang menyimpan sejuta luka.
Nah sobat demikian artikel tentang Aku Bukan Langit yang Egois semoga bermanfaat.
2018 © Pena Kecil (https://tulispenakecil.blogspot.com*).