Pena Kecil - bicara masa kecil tentunya kita memiliki cerita masing-masing yang akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Masa kecil dimana kita bebas untuk berekspresi, menari-nari, tertawa, bermain dan sebagainya. Jika mengingat kembali masa kecil, mungkin hanya ada beberapa hal yang dilakukan setiap harinya; tidur, sarapan, sekolah, pulang sekolah, bermain, ngaji, belajar. itu saja.
Ada yang menghabiskan masa kecil hingga dewasa tua di kampung halaman. Ada juga yang menghabiskannya di perantauan. Kebetulan admin sendiri menghabiskan masa kecil setidaknya 13 tahun bersama keluaga dan teman-teman di sebuah Pulau di tengah laut Jawa. Nama kampung halaman admin Dusun Rujing, Desa Sungai Teluk Kecamatan Sangkapura, Bawean Kab. Gresik.
Asal sobat tahu, di Bawean yang paling terkenal itu adalah lautnya. Sebab memang aset utama yang dimiliki oleh Pulau kecil mungil dengan beragam keindahan ini adalah laut dan pantainya.
Sedikit Admin ingin bercerita tentang keseruan masa kecil admin di Pulau Bawean. Semoga cerita ini memberikan mafaat bagi sobat sekalian. Sebelumnya admin juga pernah berbagi satu puisi tentang Pulau Bawean yang bisa sobat kunjungi di Puisi Anak Pulau
####
Oleh: Noer Al Boeyani
Namaku Tasek, saat ini aku sedang dalam perantauan mencari rezeki di negeri orang. Tepatnya di Kota Malang. Aku hanya sendiri di sini. Berbekal tekad dan harapan aku memberanikan diri untuk menatap masa depanku di Kota ini.
Sejak kecil aku sudah terbiasa hidup tanpa keluarga, bukan berarti aku tidak memiliki keluarga. Akan tetapi sejak dibangku SMA aku sudah meninggalkan kampung halaman. Pendidikan SMA aku tempuh disalah satu pondok terbesar di Kota Jombang. Begitu juga dengan pendidikan Starata satu-ku, aku menempuhnya di sana.
Aku bersyukur terlahir dari keluarga yang bisa dibilang cukup. Bapak dan ibuku sangat menyangiku begitu juga dengan kakak-kakakku. Maklum aku anak terakhir dari ke-tiga orang saudaraku.
Dulu sekali, saat aku masih di bangku SD. Aku ingat setiap pagi aku dan saudaraku duduk bersama untuk menikmati sarapan pagi. Setelah itu aku berangkat menuju sekolah dengan jalan kaki, menempuh jarak yang kira-kira 1 kilometer antara rumah dan sekolahku. Aku tidak sendirian, teman-teman ku juga demikian. Meskipun ada di antara mereka yang diantarkan oleh orang tuanya dengan menggunakan sepeda motor.
Saat pulang sekolah, aku juga biasa berjalan kaki terkadang melalu jalur yang berbeda, lewat sawah medannya tidak mudah untuk dilalui dan lebih jauh namun lebih teduh. Kadang aku ikut orang tua teman yang biasanya menjemput anaknya yang satu kelas denganku.
Jika hari libur tiba, aku dan teman-temanku biasanya menghabiskan hari dengan memancing di laut, bermain ala anak desa. Terkadang juga berburu burung ajem-ajeman (nama burung yang biasanya hanya kami temui jika musim hujan tiba). Memancing adalah favorit ku. Tepat di belakang rumah, aku sudah bisa melemparkan tali pancing. Maklum rumahku berada di pinggiran pantai yang saat itu sangat indah.
Ketika sore tiba aku berenang di pantai, bermain sampan dan juga memanjat pohon bakau. Ikan, Udang dan Bekatam masih sering aku jumpai di tepian pantai. Saat air surut aku biasanya mencari kerang dan kepiting kecil, terkadang juga bermain bola pantai. Keseruan yang tak mungkin aku lupakan sepanjang hidupku.
Terkadang jika bapak berkenan, di hari libur aku selalu di ajak untuk pergi memancing di tengah laut. Dengan perahu sederhana has dari Pulau Bawean. Bapak mengajariku teknik memancing yang berbeda dengan yang biasa aku lakukan bersama teman-teman. Dari teknik ngoncer atau bahasa kerennya “Live Bait” mancing dengan umpan hidup, Teknik Trolling, Teknik Jigging dan masih banyak lagi yang lainnya. Bapakku memang seorang Nelayan tulen begitu juga dengan Kakek ku dulu, beberapa Pamanku juga demikian. Mereka semua nelayan.
Aku tidak terbiasa memancing dengan menggunakan Joran, meski dibeberapa kesempatan aku pernah mencobanya. Alasanku, menarik tali pancing dengan kedua tangan secara langsung itu lebih menyenangkan, meski korbannya tangan yang kadang harus lecet saat ikan yang didapat sedikit besar, maklum tidak pernah menggunakan sarung tangan. Namun sensasi dari tarikan ikan itu lebih terasa. Aku masih ingat betul saat pertama kali ikut Bapak menacing. Bapak mengikatkan tali pancing di pinggangku, dan hasilnya aku hampir jatuh karena kaget saat seekor ikan menarik pancingku. Tapi itu dulu, sebelum aku berada di negeri orang, dan bapakku masih aktif menjadi nelayan.
Selain mengajakku memancing, bapak juga sering mengajakku mencari Gurita di tepian karang. Membuatku mengenal beberapa jenis terumbu karang yang ada di Bawean. Bapakku juga sering mengajakku mencari kepiting di (dheun-dheun). Dheun-dheun adalah nama hutan di pinngiran pantai yang biasanya di tumbuhi pohon bakau, pohon daun (jenis pohon yang tumbuh di pinggiran pantai dan biasanya daunnya di gunakan untuk membuat atap gubuk). Di sana ternyata bapak sudah memiliki beberapa titik yang memang sudah menjadi warisan dari kakek terdahulu. Jadi tinggal melihat apakah titik yang sudah bapak hafal itu ada isinya (kepiting). Jadi tidak susah bagi kami untuk mendapatkan satu atau dua kepiting.
Bukan hanya itu saja, beberapa tahun belakangan ini lebih tepatnya saat aku sendiri menyempatkan diri untuk menyambangi Pulau dan Desaku. Banyak sekali terlihat penambang-penambang pasir “liar”. Setidaknya yang aku tahu mereka tidak memiliki izin resmi untuk melakukan penambangan. Dan hasilnya, pantai yang dulunya penuh dengan hamparan pasir berganti dengan hamparan lumpur, Udang dan Bekatam yang biasanya aku lihat di tepian pantai di belakang rumah sudah jarang sekali terlihat, kerang yang biasanya aku bisa mendapatkannya di belakang rumah seakan menghilang bermigasi entah kemana.
Kenangan indah saat kecil di pinggiran pantai, berlarian, bermain bola, berenang dan sebagainya seakan tidak mungkin untuk dilakukan saat ini. Pemandangan indah saat menikmati senja ditepian pantai sudah hampir tiada. Bagaimana tidak demikian, jika bibiran pantai yang biasanya aku dan teman-temanku jadikan tempat bermain sekarang sudah tiada terkena abrasi. Yang terburuk menurutku, pantai menjadi kotor dengan beragam sampah yang di buang begitu saja di pinngiran pantai. Entah karena kesibukan dari masing-masing orang terhadap pekerjaannya atau memang kesadaran untuk melestarikan laut dan pantai yang menjadi aset berharga di Pulauku sudah tidak ada lagi. Entahlah.!
Namaku Tasek. Tasek adalah sebutan orang Bawean untuk laut dan pantainya. Perbedaannya, Laut itu Tasek sedangkan Pantai itu Tasek-tasek meskipun ada juga yang mengatakan Kekesekan untuk nama Pantai.
Itulah kenapa aku menuliskan sedikit cerita masa kecilku ini dengan judul MY NAME IS TASEK. Aku bermaksud mengajak semua orang hususnya masyarakat di desaku dan umumnya masyarakat Bawean. Marilah bersama menjaga laut dan pantai kita sendiri. Bukan untuk kita semata, tapi untuk anak cucu kita dimasa yang akan datang.
#####
Oke sobat, demikian cerita yang bisa admin bagikan. Jika terdapat kekurangan maupun penyusunan yang kurang berkenan, saya selaku admin dari blog ini mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya. Semoga bermanfaat.
Note
2018 © Pena Kecil (www.penakecil.id)*.
Ada yang menghabiskan masa kecil hingga dewasa tua di kampung halaman. Ada juga yang menghabiskannya di perantauan. Kebetulan admin sendiri menghabiskan masa kecil setidaknya 13 tahun bersama keluaga dan teman-teman di sebuah Pulau di tengah laut Jawa. Nama kampung halaman admin Dusun Rujing, Desa Sungai Teluk Kecamatan Sangkapura, Bawean Kab. Gresik.
Asal sobat tahu, di Bawean yang paling terkenal itu adalah lautnya. Sebab memang aset utama yang dimiliki oleh Pulau kecil mungil dengan beragam keindahan ini adalah laut dan pantainya.
Sedikit Admin ingin bercerita tentang keseruan masa kecil admin di Pulau Bawean. Semoga cerita ini memberikan mafaat bagi sobat sekalian. Sebelumnya admin juga pernah berbagi satu puisi tentang Pulau Bawean yang bisa sobat kunjungi di Puisi Anak Pulau
Seru-seruan bareng saudara di Belakang Rumah - Ketolos Punya Cerita |
My Name is Tasek
Oleh: Noer Al BoeyaniNamaku Tasek, saat ini aku sedang dalam perantauan mencari rezeki di negeri orang. Tepatnya di Kota Malang. Aku hanya sendiri di sini. Berbekal tekad dan harapan aku memberanikan diri untuk menatap masa depanku di Kota ini.
Sejak kecil aku sudah terbiasa hidup tanpa keluarga, bukan berarti aku tidak memiliki keluarga. Akan tetapi sejak dibangku SMA aku sudah meninggalkan kampung halaman. Pendidikan SMA aku tempuh disalah satu pondok terbesar di Kota Jombang. Begitu juga dengan pendidikan Starata satu-ku, aku menempuhnya di sana.
Aku bersyukur terlahir dari keluarga yang bisa dibilang cukup. Bapak dan ibuku sangat menyangiku begitu juga dengan kakak-kakakku. Maklum aku anak terakhir dari ke-tiga orang saudaraku.
Dulu sekali, saat aku masih di bangku SD. Aku ingat setiap pagi aku dan saudaraku duduk bersama untuk menikmati sarapan pagi. Setelah itu aku berangkat menuju sekolah dengan jalan kaki, menempuh jarak yang kira-kira 1 kilometer antara rumah dan sekolahku. Aku tidak sendirian, teman-teman ku juga demikian. Meskipun ada di antara mereka yang diantarkan oleh orang tuanya dengan menggunakan sepeda motor.
Saat pulang sekolah, aku juga biasa berjalan kaki terkadang melalu jalur yang berbeda, lewat sawah medannya tidak mudah untuk dilalui dan lebih jauh namun lebih teduh. Kadang aku ikut orang tua teman yang biasanya menjemput anaknya yang satu kelas denganku.
Jika hari libur tiba, aku dan teman-temanku biasanya menghabiskan hari dengan memancing di laut, bermain ala anak desa. Terkadang juga berburu burung ajem-ajeman (nama burung yang biasanya hanya kami temui jika musim hujan tiba). Memancing adalah favorit ku. Tepat di belakang rumah, aku sudah bisa melemparkan tali pancing. Maklum rumahku berada di pinggiran pantai yang saat itu sangat indah.
Senyum Mereka Saat Menikmati Pantai di Desanya |
Terkadang jika bapak berkenan, di hari libur aku selalu di ajak untuk pergi memancing di tengah laut. Dengan perahu sederhana has dari Pulau Bawean. Bapak mengajariku teknik memancing yang berbeda dengan yang biasa aku lakukan bersama teman-teman. Dari teknik ngoncer atau bahasa kerennya “Live Bait” mancing dengan umpan hidup, Teknik Trolling, Teknik Jigging dan masih banyak lagi yang lainnya. Bapakku memang seorang Nelayan tulen begitu juga dengan Kakek ku dulu, beberapa Pamanku juga demikian. Mereka semua nelayan.
Aku tidak terbiasa memancing dengan menggunakan Joran, meski dibeberapa kesempatan aku pernah mencobanya. Alasanku, menarik tali pancing dengan kedua tangan secara langsung itu lebih menyenangkan, meski korbannya tangan yang kadang harus lecet saat ikan yang didapat sedikit besar, maklum tidak pernah menggunakan sarung tangan. Namun sensasi dari tarikan ikan itu lebih terasa. Aku masih ingat betul saat pertama kali ikut Bapak menacing. Bapak mengikatkan tali pancing di pinggangku, dan hasilnya aku hampir jatuh karena kaget saat seekor ikan menarik pancingku. Tapi itu dulu, sebelum aku berada di negeri orang, dan bapakku masih aktif menjadi nelayan.
Selain mengajakku memancing, bapak juga sering mengajakku mencari Gurita di tepian karang. Membuatku mengenal beberapa jenis terumbu karang yang ada di Bawean. Bapakku juga sering mengajakku mencari kepiting di (dheun-dheun). Dheun-dheun adalah nama hutan di pinngiran pantai yang biasanya di tumbuhi pohon bakau, pohon daun (jenis pohon yang tumbuh di pinggiran pantai dan biasanya daunnya di gunakan untuk membuat atap gubuk). Di sana ternyata bapak sudah memiliki beberapa titik yang memang sudah menjadi warisan dari kakek terdahulu. Jadi tinggal melihat apakah titik yang sudah bapak hafal itu ada isinya (kepiting). Jadi tidak susah bagi kami untuk mendapatkan satu atau dua kepiting.
Kata Bapak, “Jika kepitingnya sudah diambil sebaiknya sarang kepiting diperbaiki kembali agar nantinya bisa ditempati oleh kepiting baru dan hasilnya bisa dinikmati bersama.”Aku sedikit bisa mengerti dengan kalimat yang bapak sampaikan. Menjaga kelestarian ekosistem alam hususnya laut itu sangatlah penting untuk menunjang kehidupan bersama. Tapi sangat disayangkan, sebab tidak semua orang memiliki pola berfikir seperti bapak, mereka hanya ingin menikmati hasilnya saja, setelah itu sarang yang sudah diambil kepitingnya dibiarkan begitu saja. Alhasil, kepiting enggan untuk menempatinya kembali. Seperti saat ini, beberapa sarang kepiting yang memang sudah lama hasilnya dinikmati bersama menjadi rusak, sebab kelalaian sebagian orang yang enggan memperhatikan.
Bukan hanya itu saja, beberapa tahun belakangan ini lebih tepatnya saat aku sendiri menyempatkan diri untuk menyambangi Pulau dan Desaku. Banyak sekali terlihat penambang-penambang pasir “liar”. Setidaknya yang aku tahu mereka tidak memiliki izin resmi untuk melakukan penambangan. Dan hasilnya, pantai yang dulunya penuh dengan hamparan pasir berganti dengan hamparan lumpur, Udang dan Bekatam yang biasanya aku lihat di tepian pantai di belakang rumah sudah jarang sekali terlihat, kerang yang biasanya aku bisa mendapatkannya di belakang rumah seakan menghilang bermigasi entah kemana.
Kenangan indah saat kecil di pinggiran pantai, berlarian, bermain bola, berenang dan sebagainya seakan tidak mungkin untuk dilakukan saat ini. Pemandangan indah saat menikmati senja ditepian pantai sudah hampir tiada. Bagaimana tidak demikian, jika bibiran pantai yang biasanya aku dan teman-temanku jadikan tempat bermain sekarang sudah tiada terkena abrasi. Yang terburuk menurutku, pantai menjadi kotor dengan beragam sampah yang di buang begitu saja di pinngiran pantai. Entah karena kesibukan dari masing-masing orang terhadap pekerjaannya atau memang kesadaran untuk melestarikan laut dan pantai yang menjadi aset berharga di Pulauku sudah tidak ada lagi. Entahlah.!
Namaku Tasek. Tasek adalah sebutan orang Bawean untuk laut dan pantainya. Perbedaannya, Laut itu Tasek sedangkan Pantai itu Tasek-tasek meskipun ada juga yang mengatakan Kekesekan untuk nama Pantai.
Itulah kenapa aku menuliskan sedikit cerita masa kecilku ini dengan judul MY NAME IS TASEK. Aku bermaksud mengajak semua orang hususnya masyarakat di desaku dan umumnya masyarakat Bawean. Marilah bersama menjaga laut dan pantai kita sendiri. Bukan untuk kita semata, tapi untuk anak cucu kita dimasa yang akan datang.
Oke sobat, demikian cerita yang bisa admin bagikan. Jika terdapat kekurangan maupun penyusunan yang kurang berkenan, saya selaku admin dari blog ini mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya. Semoga bermanfaat.
Note
- Sampaikan komentar, kritik maupun saran melalui kolom komentar yang sudah tersedia
- Jika ada hal lain yang ingin di sampaikan, bisa menghubungi Admin melalui halaman kontak
- Sobat punya tulisan berupa Cerpen, Puisi, Esai dan yang lainnya tapi bingung mau publikasiin dimana? coba deh kunjungi halaman ini Ayo Berkontribusi temukan jawabannya.
2018 © Pena Kecil (www.penakecil.id)*.