Kopi Sahabat dan Hujan - Baju putih polosku kuyup terguyur hujan. Entah kenapa aku selalu tak mau berteduh, ketika hujan tiba-tiba datang di tengah jalan. Padahal banyak orang memilih mencari aman dari runtuhan air langit ini.
Ah, biarlah, yang basah biarlah basah, hanya itu yang aku ucapkan. Meski kadang, aku merasa terlihat bodoh dari tatapan orang-orang yang berteduh di pinggir jalan.
Dengan perasaan senang, Aku sangat menikmati butir-butir air langit yang menghujam. Karena bagiku, hujan adalah kasih sayang Tuhan. Aku seperti merasa, air hujan yang langsung mengena di kulitku itu adalah pelukan Tuhan, dingin dan begitu mesra. Aku merasa Tuhan bernyanyi lewat angin hujan yang menyambar kulitku. Kau tahu, jika saja aku bisa melipat kenikmatan hujan ini dalam surat, aku ingin kau yang menerimanya. Biar kau tak takut lagi dengan hujan.
Tapi saat ini, aku hanya bisa berbagi dengan secangkir kopi. Karena memang, hanya dia yang setia menunggu dan mendengarkan cerita-cerita bodohku.
Kadang, aku tertawa melihatnya khusuk menyimak apa yang kukatakan. Kadang juga, aku belajar darinya bagaimana menjadi pendengar yang baik. Karena sungguh betapa sulitnya menjadi pendengar yang baik. Andai saja, orang-orang berdasi itu bisa seperti kopi, aspirasi sangat mungkin bisa dihargai. Tapi sayang, mereka tak seperti itu. Karena memang mungkin, mereka tak mau disamakan dengar secangkir kopi.
Tiba-tiba saja ditengah asik berbincang dengan kopi, aku merindukan sahabat-sahabatku.
Aku merindukan Shubuh yang tak pernah telat membangunkan dari tidur panjangku. Aku rindu Dzuhur, yang dengan gagah menyeret dan membentakku untuk tak malas dan manja berjalan di tengah terik panas matahari. Aku rindu Ashar, aku masih ingat ketika dia dengan manja selalu mengajakku menikmati langit merah senja dan selalu marah ketika aku tak lagi menyapanya. Aku rindu Maghrib, yang selalu menghiburku dengan riang ketika aku lelah dan terlihat susah. Aku rindu Isya’, setiap malam bawakan dongeng yang selalu membuatku rindu dengannya. Isya’ selalu begitu. Mereka yang sudah lama tak ku sapa senyumnya. Aku berharap, mereka juga rindu denganku.
Baca Juga : Terima kasih Hujan
Kopi tertawa terbahak-bahak melihatku diam saja merindukan mereka, lalu dia berkata;
“ Jack, kalau kau benar-benar rindu, sapa dan temui mereka, segera!!! dan sekali-sekali ajaklah mereka ngopi disini, biar aku juga kenal mereka. Hahaha !!!”
“Assu koe ..”. dan kita tertawa bersama.
Nah sobat demikian postingan dengan judul Masih Tentang Kopi Sahabat dan Hujan, semoga bermanfaat.
2018 © Pena Kecil (www.penakecil.id)*.
Ah, biarlah, yang basah biarlah basah, hanya itu yang aku ucapkan. Meski kadang, aku merasa terlihat bodoh dari tatapan orang-orang yang berteduh di pinggir jalan.
Dengan perasaan senang, Aku sangat menikmati butir-butir air langit yang menghujam. Karena bagiku, hujan adalah kasih sayang Tuhan. Aku seperti merasa, air hujan yang langsung mengena di kulitku itu adalah pelukan Tuhan, dingin dan begitu mesra. Aku merasa Tuhan bernyanyi lewat angin hujan yang menyambar kulitku. Kau tahu, jika saja aku bisa melipat kenikmatan hujan ini dalam surat, aku ingin kau yang menerimanya. Biar kau tak takut lagi dengan hujan.
Tapi saat ini, aku hanya bisa berbagi dengan secangkir kopi. Karena memang, hanya dia yang setia menunggu dan mendengarkan cerita-cerita bodohku.
Kadang, aku tertawa melihatnya khusuk menyimak apa yang kukatakan. Kadang juga, aku belajar darinya bagaimana menjadi pendengar yang baik. Karena sungguh betapa sulitnya menjadi pendengar yang baik. Andai saja, orang-orang berdasi itu bisa seperti kopi, aspirasi sangat mungkin bisa dihargai. Tapi sayang, mereka tak seperti itu. Karena memang mungkin, mereka tak mau disamakan dengar secangkir kopi.
Tiba-tiba saja ditengah asik berbincang dengan kopi, aku merindukan sahabat-sahabatku.
Aku merindukan Shubuh yang tak pernah telat membangunkan dari tidur panjangku. Aku rindu Dzuhur, yang dengan gagah menyeret dan membentakku untuk tak malas dan manja berjalan di tengah terik panas matahari. Aku rindu Ashar, aku masih ingat ketika dia dengan manja selalu mengajakku menikmati langit merah senja dan selalu marah ketika aku tak lagi menyapanya. Aku rindu Maghrib, yang selalu menghiburku dengan riang ketika aku lelah dan terlihat susah. Aku rindu Isya’, setiap malam bawakan dongeng yang selalu membuatku rindu dengannya. Isya’ selalu begitu. Mereka yang sudah lama tak ku sapa senyumnya. Aku berharap, mereka juga rindu denganku.
Baca Juga : Terima kasih Hujan
Kopi tertawa terbahak-bahak melihatku diam saja merindukan mereka, lalu dia berkata;
“ Jack, kalau kau benar-benar rindu, sapa dan temui mereka, segera!!! dan sekali-sekali ajaklah mereka ngopi disini, biar aku juga kenal mereka. Hahaha !!!”
“Assu koe ..”. dan kita tertawa bersama.
Nah sobat demikian postingan dengan judul Masih Tentang Kopi Sahabat dan Hujan, semoga bermanfaat.
2018 © Pena Kecil (www.penakecil.id)*.